Rabu, 13 Juli 2011

bulan sya'ban


Saturday, 12 Juli 2011 21:42
Sya’ban adalah nama bulan. Dinamakan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan tersebut yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air. Dikatakan demikian juga karena mereka tasya’ub (berpisah-pisah/terpencar) di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Sya’ban juga karena bulan tersebut sya’aba (muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadhan. Jamaknya adalah Sya’abanaat dan Sya’aabiin.

Shaum di bulan Sya’ban
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956). Dan dalam riwayat Muslim No.1957 : ”Adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya. Dan sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Sya’ban.”

Sebagian ulama di antaranya Ibnul Mubarak dan selainnya telah merajihkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak pernah penyempurnakan puasa bulan Sya’ban akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung dengan riwayat pada Shahih Muslim No. 1954 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata: “Saya tidak mengetahui beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan.” Dan dalam riwayat Muslim juga No. 1955 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “ Saya tidak pernah melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali bulan Ramadhan.” Dan dalam Shahihain dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa asatu bulan penuh selain Ramadhan.” (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157). Dan Ibnu Abbas membenci untuk berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Berkata Ibnu Hajar: Shaum beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam pada bulan Sya’ban sebagai puasa sunnah lebih banyak dari pada puasanya di selain bulan Sya’ban. Dan beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya’ban.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasanmu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya suka untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. Nasa’i, lihat Shahih Targhib wat Tarhib hlm. 425). Dan dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud No. 2076, dia berkata: “Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah Sya’ban kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/461.

Berkata Ibnu Rajab: Puasa bulan Sya’ban lebih utama dari puasa pada bulan haram. Dan amalan sunah yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan sebelum dan sesudahnya. Kedudukan puasa Sya’ban diantara puasa yang lain sama dengan kedudukan shalat sunah rawatib terhadap shalat fardhu sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadhan. Maka oleh karena sunah-sunah rawatib lebih utama dari sunah muthlaq dalam shalat maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadhan lebih utama dari puasa yang jauh darinya.

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam: “Sya’ban bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan”, menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung –bulan haram dan bulan puasa- manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai dari bulan Sya’ban. Dan banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab lebih utama dari puasa Sya’ban karena Rajab merupakan bulan haram, padahal tidak demikian. Dalam hadits tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang telah masyhur keutamaannya baik itu waktu, tempat ataupun orang bisa jadi yang selainnya lebih utama darinya.

Dalam hadits itu pula terdapat dalil disunahkannya menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan. Sebagaimana sebagian salaf, mereka menyukai menghidupkan antara Maghrib dan ‘Isya dengan shalat dan mereka mengatakan saat itu adalah waktu lalainya manusia. Dan yang seperti ini di antaranya disukainya dzikir kepada Allah ta’ala di pasar karena itu merupakan dzikir di tempat kelalaian di antara orang-orang yang lalai. Dan menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan punya beberapa faedah, di antaranya:
Menjadikan amalan yang dilakukan tersembunyi. Dan menyembunyikan serta merahasiakan amalan sunah adalah lebih utama, terlebih-lebih puasa karena merupakan rahasia antara hamba dengan rabbnya. Oleh karena itu maka dikatakan bahwa padanya tidak ada riya’. Sebagian salaf mereka berpuasa bertahun-tahun tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua potong roti kemudian keduanya disedekahkan dan dia sendiri berpuasa. Maka keluarganya mengira bahwa dia telah memakannya dan orang-orang di pasar menyangka bahwa dia telah memakannya di rumahnya. Dan salaf menyukai untuk menampakkan hal-hal yang bisa menyembunyikan puasanya.

Dari Ibnu Mas’ud dia berkata: “Jika kalian akan berpuasa maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa).” Berkata Qatadah: “Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya kesan sedang berpuasa.”

Demikian juga bahwa amalan shalih pada waktu lalai itu lebih berat bagi jiwa. Dan di antara sebab keutamaan suatu amalan adalah kesulitannya/beratnya terhadap jiwa karena amalan apabila banyak orang yang melakukannya maka akan menjadi mudah, dan apabila banyak yang melalaikannya akan menjadi berat bagi orang yang terjaga. Dalam shahih Muslim No. 2948 dari hadits Ma’qal bin Yassar: “Ibadah ketika harj sepeti hijarah kepadaku.” Yakni ketika terjadinya fitnah, karena manusia mengikuti hawa nafsunya sehingga orang yang berpegang teguh akan melaksanakan amalan dengan sulit/berat.

Ahli ilmu telah berselisih pendapat tentang sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban ke dalam beberapa perkataan:

1. Beliau disibukkan dari puasa tiga hari setiap bulan karena safar atau hal lainnya. Maka beliau mengumpulkannya dan mengqadha’nya (menunaikannya) pada bulan Sya’ban. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amalan sunah maka beliau menetapkannya dan apabila terlewat maka beliau mengqadha’nya.

2.Dikatakan bahwa istri-istri beliau membayar hutang puasa Ramadhannya pada bulan Sya’ban sehingga beliaupun ikut berpuasa karenanya. Dan ini berkebalikan dengan apa yang datang dari ‘Aisyah bahwa dia mengakhirkan untuk membayar hutang puasanya sampai bulan Sya’ban karena sibuk (melayani) Rasulullah.
3.Dan dikatakan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa karena pada bulan itu manusia lalai darinya. Dan pendapat ini yang lebih kuat karena adanya hadits Usamah yang telah disebutkan tadi yang tercantum di dalamnya: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan.” (HR. Nasa’i. Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib hlm. 425).

Dan adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam apabila masuk bulan Sya’ban sementara masih tersisa puasa sunah yang belum dilakukannnya, maka beliau mengqadha’nya pada bulan tersebut sehingga sempurnalah puasa sunah beliau sebelum masuk Ramadhan –sebagaiman halnya apabila beliau terlewat sunah-sunah shalat atau shalat malam maka beliau mengqadha’nya-. Dengan demikian ‘Aisyah waktu itu mengumpulkan qadha’nya dengan puasa sunahnya beliau. Maka ‘Aisyah mengqadha’ apa yang wajib baginya dari bulan Ramadhan karena dia berbuka lantaran haid dan pada bulan-bulan lain dia sibuk (melayani) Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Maka wajib untuk diperhatikan dan sebagai peringatan bagi orang yang masih punya utang puasa Ramadhan sebelumnya untuk membayarnya sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Dan tidak boleh mengakhirkan sampai setelah Ramadhan berikutnya kecuali karena dharurat, misalnya udzur yang terus berlanjut sampai dua Ramadhan. Maka barang siapa yang mampu untuk mengqadha’ sebelum Ramadhan tetapi tidak melakukannya maka wajib bagi dia di samping mengqadha’nya setelah bertaubat sebelumnya untuk memberi makan orang-orang miskin setiap hari, dan ini adala perkataannya Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.

Demikian juga termasuk faedah dari puasa di bulan Sya’ban adalah bahwa puasa ini merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak mengalami kesulitan dan berat pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam keadaan kuat dan bersemangat.

Dan oleh karena Sya’ban itu merupakan pendahuluan bagi Ramadhan maka di sana ada pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadhan seperti puasa, membaca Al-Qur’an, dan shadaqah. Berkata Salamah bin Suhail: “Telah dikatakan bahwa bulan Sya’ban itu merupakan bulannya para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Dan adalah Habib bin Abi Tsabit apabila masuk bulan Sya’ban dia berkata: “Inilah bulannya para qurra’.” Dan ‘Amr bin Qais Al-Mula’i apabila masuk bulan Sya’ban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca Al-Qur’an.

Puasa pada Akhir bulan Sya’ban
Telah tsabit dalam Shahihain dari ‘Imran bin Hushain bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda: “Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?” Dia berkata: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari.” Dan dalam riwayat Bukhari: “Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadhan.” Sementara dalam riwayat Muslim: “Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Sya’ban?” (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).

Telah terjadi ikhtilaf dalam penafsiran kata sarar dalam hadits ini, dan yang masyhur maknanya adalah akhir bulan. Dan dikatakan sararusy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakn sarar karena istisrarnya bulan (yakni tersembunyinya bulan).

Apabila seseorang berkata, telah tsabit dalam Shahihain dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salla, beliau bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagimana kita mengkompromikan hadits anjuran berpuasa (Hadits ‘Imran bin Hushain tadi) dengan hadits larangan ini?

Berkata kebanyakan ulama dan para pensyarah hadits: Sesungguhnya orang yang ditanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ini telah diketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa dia ini terbiasa berpuasa atau karena dia punya nadzar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.

Dan dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Sya’ban ada pada tiga keadaan:

1.Berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram.

2.Berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha’ Ramadhan yang lalu atau membayar kafarah atau yang lainnya. Jumhur ulama membolehkan yang demikian.

3.Berpuasa dengan niat puasa sunah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Sya’ban dan Ramadhan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri –meskipun sudah terbiasa berpuasa- akan tetapi Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafi’i, Al-Auzai’, dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.
Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadhan dengan puasa sunah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya’ban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.

Apabila seseorang berkata, kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci (bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)? Jawabnya adalah karena dua hal:

Pertama: agar tidak menambah puasa Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai langkah hati-hati/peringatan dari apa yang terjadi pada ahli kitab dengan puasa mereka yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka berdasarkan pendapat dan hawa nafsu mereka. Atas dasar ini maka dilaranglah puasa pada yaumusy syak (hari yang diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dan hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadhan atau bukan yang disebabkan karena adanya khabar tentang telah dilihatnya hilal Ramadhan tetapi khabar ini ditolak. Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasaa padanya. Dan ini adalah perkataaan kebanyakan ulama.

Kedua: Membedakan antara puasa sunah dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara fardlu dan sunah adalah disyariatkan. Oleh karenanya diharamkanlah puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal yang sunnah). Dan Rasulullah melarang untuk menyambung shalat wajib dengan dengan shalat sunah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan. Terlebih-lebih shalat sunah qabliyah Fajr (Shubuh) maka disyari’atkan untuk dipisahkan/dibedakan dengan shalat wajib. Karenanya disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika melihat ada yang sedang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: “Apakah shalat shubuh itu empat rakaat?” (HR. Bukhari No.663).
Barangkali sebagian orang yang jahil mengira bahwasanya berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadhan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan nafsu) dalam hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah salah/keliru dan merupakan kejahilan dari orang yang berparasangka seperti itu. Wallahu ta’ala a’lam.

Maraji’: Lathaaiful Ma’arif fi ma Limawasimil ‘Aami minal Wadhaaif, Ibnu Rajab Al-Hambali.
Al-Ilmam bi Syai’in min Ahkamish Shiyam, ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi.

(Diterjemahkan dari artikel berjudul Haula Syahri Sya’ban di www.islam-qa.com oleh Abu Abdurrahman Umar Munawwir)

sumber : http://www.perpustakaan-islam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=255:seputar-bulan-syaban&catid=39:fikih

Sabtu, 25 Juni 2011

HUKUM MENIKAH DALAM ISLAM



Posted on Juni 24, 2011 by kang doel

HIKMAH DAN HUKUM NIKAH

Oleh: Abu Hamzah Ibnu Qomari


Hikmah Syariat Nikah

1. Nikah adalah salah satu sunnah (ajaran) yang sangat dianjurkan oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam sabdanya:

ayat1.jpg

“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah (jima’ dan biayanya) maka nikahlah, karena ia lebih dapat membuatmu menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa tidak mampu menikah maka berpuasalah, karena hal itu baginya adalah pelemah syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Nikah adalah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

ayat2.jpg

“Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia telah menyempurnakan iman.” (HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dg syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh adz Dzahabi)

ayat3.jpg

“Barangsiapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh iman, hendaklah ia menyempurnakan sisanya.” (HR. ath Thabrani, dihasankan oleh Al Albani)

Kisah:

Al Ghazali bercerita tentang sebagian ulama, katanya:”Di awal keinginan saya (meniti jalan akhirat), saya dikalahkan oleh syahwat yang amat berat, maka saya banyak menjerit kepada Allah. Sayapun bermimpi dilihat oleh seseorang, dia berkata kepada saya:”Kamu ingin agar syahwat yang kamu rasakan itu hilang dan (boleh) aku menebas lehermu? Saya jawab:”Ya”. Maka dia berkata:”Panjangkan (julurkan) lehermu.” Sayapun memanjangkannya. Kemudian ia menghunus pedang dari cahaya lalu memukulkan ke leherku. Di pagi hari aku sudah tidak merasakan adanya syahwat, maka aku tinggal selama satu tahun terbebas dari penyakit syahwat. Kemduian hal itu datang lagi dan sangat hebat, maka saya melihat seseorang berbicara pasa saya antara dada saya dan samping saya, dia berkata:”Celaka kamu! Berapa banyak kamu meminta kepada Allah untuk menghilangkan darimu sesuatu yang Allah tidak suka menghilangkannya! Nikahlah!” Maka sayapun menikah dan hilanglah godaan itu dariku. Akhirnya saya mendapatkan keturunan.” (Faidhul Qadir VI/103 no.8591)

3. Nikah adalah satu benteng untuk menjaga masyarakat dari kerusakan, dekadensi moral dan asusila. Maka mempermudah pernikahan syar’i adalah solusi dari semu itu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

ayat41.jpg

“Jika datang kepadamu orang yang kamu relakan akhlak dan agamanya maka nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan maka pasti ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Hakim, hadits shahih)

4. Pernikahan adalah lingkungan baik yang mengantarkan kepada eratnya hubungan keluarga, dan saling menukar kasih sayang di tengah masyarakat. Menikah dalam Islam bukan hanya menikahnya dua insan, melainkan dua keluarga besar.

5. Pernikahan adalah sebaik-baik cara untuk mendapatkan anak, memperbanyak keturunan dengan nasab yang terjaga, sebagaimana yang Allah pilihkan untuk para kekasih-Nya:

ayat5.jpg

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS. ar Ra’d:38

6. Pernikahan adalah cara terbaik untuk melampiaskan naluri seksual dan memuaskan syahwat dengan penuh ketenangan.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

ayat6.jpg

“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa setan (menggoda) dan membelakangi dalam rupa setan, maka apabila salah seorang kamu melihat seorang wanita yang menakjubkannya hendaklah mendatangi isterinya, sesungguhnya hal itu dapat menghilangkan syahwat yang ada dalam dirinya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

7. Pernikahan memenuhi naluri kebapakan dan keibuan, yang akan berkembang dengan adanya anak.

8. Dalam pernikahan ada ketenangan, kedamaian, kebersihan, kesehatan, kesucian dan kebahagiaan, yang diidamkan oleh setiap insan.

Hukum Nikah

Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat; memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila pernikahan justru membawa madharat maka nikahpun dilarang. Dari sini maka hukum nikah dapat dapat dibagi menjadi lima:

1. Disunnahkan bagi orang yang memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia mampu untuk menikah.

Karena Allah telah memerintahkan dan Rasulpun telah mengajarkannya. Bahkan di dalam nkah itu ada banyak kebaikan, berkah dan manfaat yangb tidak mungkin diperoleh tanpa nikah, sampai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

ayat7.jpg

“Dalam kemaluanmu ada sedekah.” Mereka bertanya:”Ya Rasulullah , apakah salah seorang kami melampiaskan syahwatnya lalu di dalamnya ada pahala?” Beliau bersabda:”Bagaimana menurut kalian, jika ia meletakkannya pada yang haram apakah ia menanggung dosa? Begitu pula jika ia meletakkannya pada yang halal maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban)

Juga sunnah bagi orang yang mampu yang tidak takut zina dan tidak begitu membutuhkan kepada wanita tetapi menginginkan keturunan. Juga sunnah jika niatnya ingin menolong wanita atau ingin beribadah dengan infaqnya.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Kamu tidak menafkahkan satu nafkah karena ingin wajah Allah melainkan Allah pasti memberinya pahala, hingga suapan yang kamu letakkan di mulut isterimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, dinar yang kamu nafkahkan untuk budak, dinar yang kamu sedekahkan pada orang miskin, dinar yang kamu nafkahkan pada isterimu maka yang terbesar pahalanya adalah yang kamu nafkahkan pada isterumu.” (HR. Muslim)

2. Wajib bagi yang mampu nikah dan khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah. Sebab menghindari yang haram adalah wajib, jika yang haram tidak dapat dihindari kecuali dengan nikah maka nikah adalah wajib (QS. al Hujurat:6). Ini bagi kaum laki-laki, adapun bagi perempuan maka ia wajib nikah jika tidak dapat membiayai hidupnya (dan anak-anaknya) dan menjadi incaran orang-orang yang rusak, sedangkan kehormatan dan perlindungannya hanya ada pada nikah, maka nikah baginya adalah wajib.

3. Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak memiliki syahwat sama sekali seperti orang yang impotent atau lanjut usia, atau yang tidak mampu menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita tersebut harus rasyidah (berakal).

Juga mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.

4. Haram nikah bagi orang yang tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut terjatuh dalam zina atau maksiat lainnya, atau jika yakin bahwa dengan menikah ia akan jatuh dalam hal-hal yang diharamkan. Juga haram nikah di darul harb (wilayah tempur) tanpa adanya faktor darurat, jika ia menjadi tawanan maka tidak diperbolehkan nikah sama sekali.

Haram berpoligami bagi yang menyangka dirinya tidak bisa adil sedangkan isteri pertama telah mencukupinya.

5. Makruh menikah jika tidak mampu karena dapat menzhalimi isteri, atau tidak minat terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.. Juga makruh jika nikah dapat menghalangi dari ibadah-ibadah sunnah yang lebih baik. Makruh berpoligami jika dikhawatirkan akan kehilangan maslahat yang lebih besar.

Dikutip dari Majalah Qiblati Edisi 05 tahun II/ 1428H

Rabu, 23 Maret 2011

informasi tagihan listrik, telpon, dan speedy

belakangan ini saya banyak mengamati bagaimana keaadaan masyarakat di desa yang kurang memaximalakan sarana yang ada, seperti halnya melihat tagihan listrik, speedy dan telpon, ketika menginjak awal bulan mereka banyak yang bertanya " berapa tagihanlistrik/telpon/ dan speedy ku ku bulan ini, padahal mereka sekarang banyak yang mempunyai sarana seperti Hp yang sudah da GPRS nya minimalnya yang bisa untuk melihat informasi tersebut berikut ini adalah link yang bisa dibuat untukmelihat informasi tagihan tersebut.
untuk tagihan telkom/speedy/flexy bisa anda lihat di sini: http://infobill.telkom.co.id/index.php?time=1300925444

sedangkan untuk listrik bisa dilihat disini strik : http://202.162.217.251/info_billing/index.php LAYANAN i-SMS 8123 Ketik : PLN[spasi]ON[spasi]
demikian informasi yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat untuk saudara-saudaraku..